Sabtu, 11 Februari 2012

Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis? Oleh Abdurrahman Wahid

Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis?

Oleh Abdurrahman Wahid



Seleksi dalam Pesantren

Arah pendidikan ditentukan oleh mereka yang berkelibat dalam kegiatan pendidikan. Untuk siapakah seluruh sistem pendidikan pesantren? Bilamana hal ini dipertanyakan untuk siapakah seluruh sistem pendidikan pesantren, jawaban bisa diberikan dalam bentuk konstatasi tentang pesantren dalam kalangan pesantren sendiri sebagi berikut: "bilamana dari puluhan ribu santri yang tinggal di pesantren setengah persen saja di antaranya dapat menjadi ahli agama, itu sudah merupakan hasil yang maksimal". Hal tersebut mencerminkan proses seleksi yang ketat sekali dalam pesantren masa sekarang. Inilah titik balik dari perkembangan pesantren yang menjalani masa hidupnya ratusan tahun hingga sekarang. Penyaringan yang ketat adalah penanaman benih elitisme dalam pesantren. Hal semacam ini sebenarnya berbeda dengan pesantren sebagaimana dapat ditelusuri kekhasannya pada titik mulanya yang paling awal. Di masa-masa yang lalu pesantren itu adalah satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam saat di mana semua mereka yang memiliki darah biru kebangsawanan dan mereka yang karena hubungannya dengan keraton dididik dalam lembaga pendidikan kekeratonan, pesantren menampung semua lapisan masyarakat yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan keraton. Karena itu dulunya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; di dalamnya tidak hanya diajarkan agama.

Dalam perkembangannya akhir-akhir ini tampak kecenderungan untuk menciptakan pesantren sebagai lembaga pencetakan para ulama. Penyempitan kriterium dengan sendirinya bergerak menuju penciutan lapangan bagi orang yang akan dikirim ke pesantren yaitu orang-orang yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen kepada Islam sebagai ideologi. Dengan mempertahankan kriterium semacam ini maka bisa dilihat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan di mana tingkat drop-out cukup besar.

ltulah perkembangannya pada tahun menjelang kemerdekaan sampai kira-kira tahun tujuhpuluhan ini. Pada tahun-tahun terakhir timbul elemen baru di mana pesantren merupakan penampung ribuan bahkan puluhan ribu mereka yang karena alasan tertentu tidak dapat ditampung di sekolah-sekolah luar baik karena fasilitas, biaya dan lain sebagainya, maupun karena tak dapat memenuhi standarnisasi entah itu akhiak atau persyaratan lain yang terdapat di sekolah umum. Bahkan pada tahun-tahun terakhir pesantren itu juga dapat tambahan fungsi untuk menampung anak-anak nakal yang tidak dapat diatasi oleh sekolah-sekolah lain atau oleh orang tuanya. Malah pesantren juga menjadi penampung anak-anak yang menjadi korban erosi kultur dalam kota-kota besar.

Jadi dengan demikian, tidak dapat ditentukan dengan persis dari mana asal usul kalangan yang mengirim anak-anaknya ke pesantren. la selalu berubah menurut perubahan fungsi dari pesantren itu sendiri. Sepintas kelihatan semua pesantren sama. Di sana ada kiai, santri, dan tempat penampung. Akan tetapi selebihnya berbeda, seperti sidik jari yang senantiasa berlainan menurut telapak setiap tangan.

Bisa saja dikatakan bahwa ada orientasi elitis dalam pesantren. ltupun tergantung lagi pada pemahaman kita tentang elitisme. Bilamana dengan orientasi elitis dimaksudkan tingkat sosial-ekonomis dari orang tua anak yang dikirim ke pesantren, juga dalam hal ini tidak dapat dilihat kesamaan dari pesantren yang satu ke pesantren yang lainnya. Bisa disebut beberapa contoh seperti pesantren tarekat dan Pesantren Tebuireng yang kebanyakan menampung mereka dari kalangan bawah. Sedangkan pesantren seperti Gontor jelas kelihatan bahwa yang ditampung di sana adalah mereka dari kalangan pedagang dan intelektual. Anak-anak dari mereka yang dianggap kaum pemikir dalam masyarakat, guru dan lain sebagainya. Dari segi ini bisa dilihat orientasi elitis di sana.

Pada pihak lain konsep elitisme dalam pesantren juga tak bisa diterima secara serta-merta. Melihat tempatnya yang di desa dia menampung mereka yang karena alasan sosial ekonomis tidak tertampung di tempat lain. Ini berarti juga dia menampung mereka yang tidak memiliki privilese-privilese sosial. Hasilnyapun bisa dilihat. Pesantren senantiasa menghasilkan pemimpin masyarakat yang pandangan hidupnya populis, baik itu dari kalangan ABRI maupun dari Parpol/Ormas yang tidak terikat pada stratifikasi sosial yang beraneka ragam itu.

Mengubah Wajah Pesantren: Matangkan Kerangkanya

Bahwa pesantren lebih memberikan kesan sebagai lembaga pendidikan keagamaan mungkin itu adalah kesan yang sulit dielakkan. Akan tetapi pengertiannya harus dijelaskan terlebih dahulu. Karena ada memang pesantren di mana dikhususkan pendidikannya untuk mencapai spesialisasidalam bidang keagamaan.Misalnya di Tebuireng di mana diadakan spesialisasi tentang Hadis, ilmu Tafsir, atau di Krapyak di mana dibuat spesialisasi tentang ilmu-ilmu bahasa Arab. Akan tetapi ada juga yang hanya memberikan pelajaran agama sebagai dasar. Dan tidak sampai menuju kepada spesialisasi.

Dari segi pandangan lain bisa dikatakan sebagai berikut. Pendidikan keusahawanan misalnya bukanlah suatu yang asing dalam pesantren. Terutama tentang konskuensi dari pendidikan semacam itu yaitu etos kerja keras. Hal semacam itu selalu menjadi tekanan pokok dalam pendidikan di pesantren. Akan tetapi pendidikan kepengusahaan tersebut tidak terkoordinir dan tidak direncanakan dan untuk itu dibuat kerangkanya. Akibatnya akan keluar usahawan-usahawan yang mencari-cari jalan sendiri. Mereka akan menjadi usahawan-usahawan yang otodidak, yang tidak mendekati masalahnya dari segi-segi ilmiah tetapi berdasarkan intuisi.

Akhir-akhir ini ada upaya memasukkan ke dalam pesantren pendidikan keterampilan. Usaha semacam itu adalah usaha yang terpuji dan bukanlah suatu yang buruk dalam dirinya. Akan tetapi kegunaannya menurun bilamana sistem pendidikan keterampilan semacam itu hanyalah keterampilan demi keterampilan dan meniru sekolah-sekolah seperti ASMI misalnya. Sekolah-sekolah semacam itu adalah konsumsi kota besar, dia tidak berfungsi bagi sekolah yang tempatnya di desa dan berorientasi menuju desa, karena memang bukan semua tamatannya akan menuju ke kota. Stenografi, demikian pula pelajaran mengetik tidaklah terlalu penting bagi masyarakat di desa. Yang jauh lebih penting ialah pendidikan pengusahaan yang menitik beratkan misalnya bagaimana melihat desa sebagai suatu potensi pasaran, serta bagaimana mengolahnya.

About Me

Foto Saya
Oliez
saya orangnya slengean cuy
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Blog Search: The Source for Blogs
 
Copyright (c) Kumpulan Artikel - Blogger Templates created by BTemplateBox.com - Css Themes by metamorphozis.com